Denang Seratus Ribu Kunang-kunang (sebuah catatan belum selesai)

Puisi: Hoesnizar Hood

Denang oi,
Jangan sebut namanya
Aku tak mau dengar namanya
Karena sekalipun tidak dimimpipun enggan
Aku tak tau engkaupun tidak
Jauh dari seribu bayangan
Tapi tiba-tiba dia datang

Dan terbanglah seratus ribu kunang-kunang
Menjadi cahaya disatu pagi tak berwarna

Denang oi,
ciumlah saja kening kekasihmu dalam zikir terakhir
ucapkan sekuat badai batin doa mu mengalir

Kenapa harus ombak tempat kita berdendang
Kenapa harus laut tempat kita menari
Kenapa harus sunyi tempat kita menyesal
Kenapa harus diam tempat kita berdoa
Dan kayu, tiang batu, lumpur pepohonan sembilu
Pisau gelombang tak tertangkis
Kenapa harus Aceh tempat kita menangis

Denang oi,
Teka-teki tuhan jangan kau jawab
Jangan kau lukis sketsa wajah dukamu
Aku tau hatimu punah seperti punah kaca
Remuk selaman musim percintaan kita
Hanyut tanpa muara
Patah ditebing tak berdinding
Tenggelam dipuncak punca

Denang oi,
Jangan sebut namanya
Aku tak tau namanya
Tak hendak karena siapa dia
Tak tau karena tak ingin tau
Merah hitamkah atau biru
Seperti biru bibirku menyebut namamu

Pangillah tangis kalaupun masih dapat kita
timba airmata
Siat-lah pedih kalaupun dapat kita selam
sedepa luka
Pujuklah maut kalaupun mati dapat kau
lihat bentuknya

Denang oi,
Dan terbanglah seratus ribu kunang-kunang
Menjadi cahaya disatu pagi tak berwarna

Pujuk sekerat zikirmu jadi pualam
Telan bayang-bayang hitam yang tenggelam
Bersama harapan sezaman

Seratus ribu kunang-kunang pergi
Adalah harapan yang kita titipkan
membawa doa masa depan
Menuju matahari ke sebuah negeri abadi,

Denang oi,
Seratus tahun kenangan tergenang
Seratus senandung mendung
Seratus ratap senyap

Tapi satu cinta ku akan segera datang
berlabuh diserambi hatimu yang bimbang
*****
Sumber: parisvanjavaa